Siang Pusat Bisnis, Malam Sangat Romantis


Anda belum ke Surabaya kalau tidak melintas atau minimal selfie maupun swafoto di Jalan Tunjungan. Karena Suroboyo identik dengan jalan yang ada di pusat kota itu. 
Jalan Tunjungan adalah salah satu ikon paling terkenal dari  Kota Pahlawan. Saking terkenalnya, sampai ada lagunya. Judulnya Rek Ayo Rek. Lagu itu terkenal sejak diciptakan, hingga kini banyak orang menyanyikannya. Syairnya mudah, liriknya tak rumit, gampang diingat.  

Begini liriknya. Rek ayo rek, mlaku-mlaku nang Tunjungan. Rek ayo rek, rame-rema bebarengan. Cak ayo cak sopo gelem melu aku. Cak ayo cak dolek kenalan cah ayu.

Lagu itu diciptakan oleh Is Hariyanto. Lalu, dipercayakan kepada Mus Mulyadi untuk menyanyikannya. Karena Mus Mulyadi asli Surabaya, dari lahir hingga remaja juga di Surabaya, tak sulit bagi maestro keroncong tersebut membawakannya dengan cara dan logat Suroboyo. Hingga sekarang, Rek Ayo Rek menjadi lagu wajibnya cak-ning Suroboyo. 

Membaca liriknya, kita sudah bisa membayangkan bagaimana ‘bentuk’ Jalan Tunjungan itu. Jalan yang membentang dari sisi selatan ke utara, yang panjangnya tak lebih dari empat kilometer itu, digambarkan Is Haryanto sungguh indah. Tempat jalan-jalan, mencari hiburan atau melepas kepenatan. Saking indahnya, anak laki-laki bakal bisa bertemu anak perempuan yang cantik, jika mereka jalan-jalan di Jalan Tunjungan.

Apa yang dituangkan Is Haryanto dalam lirik lagunya, memang tak berlebihan. Malah bisa dikatakan tepat. Dari dulu hingga sekarang, Jalan Tunjungan adalah tempat klinong-klinong-nya arek-arek Suroboyo.  “Kalau di Bandung ada  Jalan Braga, Jogjakarta punya Jalan Malioboro, maka Surabaya punya Jalan Tunjungan,” kata Yuli Andriyani, warga Simo yang ditemui Radar Surabaya sedang berswa foto dengan keluarganya di Jalan Tunjungan, belum lama ini . 

Jalan Tunjungan sudah dibangun oleh Belanda sejak awal abad ke-20.  Tak heran jika di kawasan itu, banyak bangunan-bangunan ikonik khas arsitektur kolonial. Ada yang masih dipertahankan, ada yang sudah rusak, ada yang sangat terawat, tapi ada pula yang sudah hilang ditelan arus modernisasi.  
Jalan Tunjungan juga menyimpan kisah perkembangan kota tercinta ini dari tahun ke tahun. Sungguh elok ketika era Belanda, menjadi kawasan bisnis terkenal di tahun 1980-an, lalu meredup di kisaran tahun 2000-an. Mulai kembali dilirik di tahun 2010-an, dan lanjut kembali menjadi perhatian sejak lima tahun terakhir.

Memasuki Jalan Tunjungan, kita akan disambut dengan bangunan tinggi megah menyudut yang bernama Siola. Tepat di depan gedung Siola yang kini jadi Mal Pelayanan Publik itu, di bagian bawah terdapat tulisan Tunjungan yang dibuat setinggi manusia dengan hiasan lampunya. “Ini tempat paling favorit untuk foto kalau lagi jalan jalan ke Tunjungan,” kata Suhaimi, warga Sidoarjo.

Beberapa meter memasuki Jalan Tunjungan, kita akan menemukan jembatan penyeberangan besar yang menjadi satu dengan gedung Siola, difungsikan menjadi taman gantung. Taman ini bisa kita akses melalui gedung Siola atau tangga yang berada di bawah jembatan.

Setelah melewati taman gantung, kita bisa menikmati keindahan Jalan Tunjungan dengan jalur pejalan kaki yang cukup lebar, sehingga membuat warga nyaman untuk berjalan di sana. Tidak hanya pedestrian yang nyaman, namun di sepanjang jalan ini dihiasi oleh lampu kota bergaya Eropa lama. Lampu di jalan ini tidak hanya berada di jalur pejalan kaki, namun ada juga yang digantung di atas jalan dengan ornamen tematik.

Kesan Hindia-Belanda terasa sangat kentan di sepanjang Jalan Tunjungan. Gaya bangunan era kolonial masih bisa kita nikmati di jalan ini, berjajar cantik dari mulai masuk hingga ujung Jalan Tunjungan. Bangunan di Jalan Tunjungan ini menjadi saksi kisah heroik arek-arek Suroboyo.
Siola menjadi tempat mengatur strategi saat Inggris menyerang Surabaya. Ada juga Hotel Majapahit, yang dulu dikenal dengan nama Hotel Orange di zaman Belanda dan Hotel Yamato di zaman Jepang. Hotel di Jalan Tunjungan no 65 ini menjadi saksi kisah bersejarah yang dikenal sebagai Peristiwa Perobekan Bendera yang terjadi pada 19 September 1945. Di bagian menara tiang bendera, sisi sebelah utara tepatnya, terjadi kejadian perobekan bendera berwarna biru milik Belanda sehingga menjadi merah putih.
Tak jauh dari Hotel Majapahit tersebut, tepat di depannya terdapat bangunan bersejarah juga yang dikenal sebagai Monumen Pers. Gedung yang berada di belokan antara Jalan Tunjungan dan Embong Malang ini menyimpan sejarah kantor berita Antara. Dimana salah satu pahlawan nasional dari Surabaya pernah menempatinya, yaitu Sutomo yang lebih dikenal dengan Bung Tomo.

Jalan Tunjungan hidup di dua zona waktu. Ketika di pagi hari jalan ini akan sibuk dengan aktivitas ekonominya. Jika jam kerja telah usai, Jalan Tunjungan akan ramai oleh para penikmat jalan yang datang untuk mengabadikan momen mereka di Jalan Tunjungan yang bersolek dengan warna-warni lampu ketika malam tiba.

Suasana kota dengan unsur bangunan cagar budaya terlihat hidup di Jalan Tunjungan, karena adanya aktivitasnya di sekitar sehingga membuat kawasan tersebut mempunyai nilai sejarah yang tinggi. Menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Surabaya Antiek Sugiharti, dengan memanfaatkan kawasan Tunjungan menjadi destinasi wisata, akan semakin banyak wisatawan dari luar Surabaya yang berkunjung. “Untuk Jalan Tunjungan kita akan lebih banyak ke event, seperti kita gelar Mlaku-Mlaku Nang Tunjungan, kita gandengkan dengan festival tari, kemudian ada fashion show on the street. Jadi, model-model itu yang kita bikin supaya lebih meramaikan, dan ditambah dengan adanya ornamen-ornamen yang sudah dilakukan oleh pihak pemkot untuk mempercantik kawasan tersebut,” urai Antiek ditemui Radar Surabaya, pekan lalu.

Selain itu, lanjutnya, Pemkot Surabaya juga mendorong realisasi bangunan cagar budaya sehingga bangunan milik swasta yang telah dilakukan pembangunan, tetap akan menyatu di kawasan tersebut. “Karena di wilayah itu ada beberapa milik swasta dan mayoritas milik pemkot,” imbuhnya. 
Rata-rata bangunan milik swasta diperuntukkan sebagai tempat usaha. Ada yang jualan alat tulis kantor (ATK), sepatu, roti, alat-alat musik, hingga kantor pengacara. Juga ada minimarket kecil yang buka di kawasan ini. Ada juga kantor pengacara, hingga toko roti milik akrtis Gisella Anastasia. Saat ini Jalan Tunjungan juga menjadi salah satu pusat bisnis perhotelan, karena di sepanjang jalan ini sedang dibangun sejumlah hotel berbintang. 

Menurut Antiek, di dalam Undang-Undang Cagar Budaya Nomor 11 tahun 2005 tentang Cagar Budaya disebutkan bahwa masyarakat itu harus berperan aktif mengelola dan melestarikan bangunan cagar budaya. “Tidak hanya pemerintah saja, karena dengan keterlibatan masyarakat di dalamnya maka masyarakat juga merasa sangat memiliki,“ terangnya.    

Dengan pemeliharaan yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya itu sangat tepat, karena pemeliharaan bangunan tua itu tidaklah mudah dan memerlukan teknik khusus.  “Sehingga warga masyarakat yang memiliki bangunan tua (kuno) yang memiliki nilai historis dan ingin melakukan pemeliharan maupun renovasi, itu harus melapor ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kota Surabaya dan tidak boleh sembarangan. Karena ini ada rambu-rambu dalam rangka pemeliharaan bangunan cagar budaya. Misalnya bangunan cagar budaya yang tipe utama, tidak boleh diubah sembarang. Nah, ini merupakan salah satu manejemen yang kami lakukan terhadap bangunan-bangunan cagar budaya,” papar pejabat berhijab itu.

Untuk menarik wistawan dari luar Surabaya, menurut Antiek, harus ada sinergi antara kawasan Tunjungan dengan kawasan lainnya, sehingga wilayah ini akan lebih hidup. “Kondisi seperti itu akan menarik. Jadi, nanti ada paketan wisata, seperti kawasan penunjang seperti di dekat Siola ada Dermaga Kalimas yang nantinya bisa menghubungkan kawasan tersebut dengan kawasan Jembatan Merah dengan menaiki perahu. Kemudian di dekat Tunjungan, ada ada kampung Kembangsreng, Ketandan. Kampung-kapung itu kami ajak warganya bareng-bareng untuk mengembangkannya sehingga saling bersinergi,” pungkasnya. (*)



x