Perempuan Jadi Objek di Bak Truk


Dalam lukisan di bak truk, dapat diambil kesimpulan bahwa praktik perendahan diri perempuan masih terus bersemai di masyarakat. Perempuan dicitrakan sebagai objek yang posisinya tidak setara dengan laki-laki. Itu juga tersirat melalui kata-kata yang dipakai, condong sebagai bahasa laki-laki. Demikian hasil pengamatan Shela Kusumaningtyas.

Lulusan  Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini mengatakan, citra tertentu sengaja diciptakan melalui tubuh perempuan yang digambar di bak truk. Tubuh perempuan kerap dimanfaatkan sebagai latar lukisan. Misalnya, perempuan dengan tubuh setengah telanjang dipampang sebagai lukisan di bak truk. Ada pula perempuan berwajah lusuh dan bermuka masam yang diibaratkan sebagai istri tua dipoles di bak truk. “Tubuh perempuan inilah yang diasosiasikan sebagai tanda yang mengandung pesan terselubung. Seniman melihat tubuh perempuan sebagai magnet yang mesti dipajang dalam karya seninya. Citra, makna, identitas tersingkap dalam tubuh perempuan,” urainya.
Tulisan seperti ”Jangan Ngaku Cantik, Kalo Belom Macarin Pria Beristri”  di pantat truk, mencerminkan dominasi laki-laki dalam mengklasifikasikan perempuan. Ada pula tulisan yang mengkastakan perempuan di bak truk. Bunyinya seperti ini, “Duh Gusti Lindungilah Aku Dari Godaan Cabe-cabean, Para Mantan, Wanita Penghibur, Tante Girang, Janda Muda, dan Istri Orang,  Amin”.
“Dari situ muncul standar perempuan baik yang didasarkan penilaian laki-laki. Perempuan yang melanggar patokan tersebut, dirasa pantas untuk mendapatkan hal buruk,” ujarnya.
Shela menjelaskan, sistem patriarki mengekalkan prinsip seperti itu. Dominasi dan kekuasaan laki-laki membagi perempuan dalam dua kategori, yakni berperilaku pantas dan berperilaku tidak senonoh. Perempuan diminta tunduk dengan pengkategorian itu dengan tujuan memuaskan kesenangan cita rasa laki-laki. Laki-laki menentukan keamanan dan kenyamanan yang diterima perempuan. “Tempat super ordinat selalu diduduki laki-laki, perempuan hanya boleh diam di status subordinat,” tandasnya.
Menurut Shela, dari gambar di bak truk, juga terekam pesan bahwa perempuan selalu ditaruh di ranah domestik. Perempuan hanya menunggu laki-lakinya pulang ke rumah membawa uang. Sembari menanti laki-lakinya kerja, perempuan dituntut menyelesaikan tugas konvensional dan tradisional seperti mengurus anak dan membereskan rumah.
Dari bak truk, masyarakat bisa berkaca. Perempuan terhimpit keadaan yang merupakan produk politik, struktur sosiologis, dan ekonomis. Aspek tersebut melebur dalam cengkeram kapitalisme. “Perempuan terbatas dalam melebarkan kemampuan dirinya, jika ia masih belum merdeka secara sosial dan ekonomi dari bantuan laki-laki,” kata Shela. (*)