Selamat Jalan A.M. Fatwa


Kamis pagi (14/12) sekitar pukul 06.25, dunia politik Indonesia dikejutkan dengan kabar meninggalnya Andi Mappetahang Fatwa atau lebih akrab di telinga dan mata kita dengan nama A.M. Fatwa. Ia senator ulung sekaligus salah satu pendiri Partai Amanat Nasional (PAN), partai yang punya warna khas biru dan berlambang matahari bersinar itu.

A.M. Fatwa meninggal di usia 78 tahun. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit (RS) Metropolitan Medical Centre (MMC) Jakarta Selatan. Sejak beberapa hari terakhir, pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan itu dirawat di MMC karena komplikasi antara penyakit paru-paru dan jantung.
Rencananya, legislator yang produktif menulis buku itu akan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta selepas zuhur. Terakhir, A.M Fatwa adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI  yang berangkat dari daerah pemilihan DKI Jakarta.
A.M. Fatwa dikenal sebagai politisi yang kenyang penjara. Betapa tida, di masa orde baru (Orba), ia bolak-balik masuk jeruji besi.
Maret lalu, laman merdeka.com menulis tentang sosok ayah lima anak itu. Berikut tulisan tersebut:
Saat rezim begitu otoriter dan penguasa berubah menjadi diktator, akan selalu muncul para aktivis yang melawan. Diteror dengan kekerasan, disiksa di tahanan, hingga dipenjara menjadi risiko yang harus dijalani.
Seperti itulah jalan hidup yang dilakoni Andi Mappetahang Fatwa atau AM Fatwa semasa muda di zaman Orde Lama hingga jelang Orde Baru tumbang. Saat menjadi mahasiswa di IAIN Jakarta pada tahun 1957, Fatwa aktif dan menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciputat dan pengurus PB HMI. Saat itu rezim Orde Lama di bawah Presiden Soekarno sedang kuat-kuatnya.
Persinggungan pertamanya dengan aparat terjadi ketika dia menjadi anggota Dewan Mahasiswa Jakarta pada tahun 1963. Saat itu terjadi demonstrasi di kampusnya yang mengkritik kebijakan rektor IAIN dan Menteri Agama. Tapi, oleh pemerintah, demonstrasi itu dianggap merongrong kewibawaan pemimpin besar revolusi, dianggap mengganggu persiapan Ganefo dan Indonesia yang sedang berkonfrontasi dengan Malaysia.
"Saya sebenarnya pengagum Bung Karno, tapi akhirnya itu saya ada sikap kritis. Ya kebetulan saya dulu sering berkunjung ke keduataan Malaysia. Ada alamat dan nomor telepon kedutaan Malaysia di kantor saya, nah itulah seperti menjadi serius. Jadi itukan Bung Karno pemimpin besar revolusi yang kalau diusik sedikit, seolah merongrong. Lalu kaitan dengan Malaysia itu kan kurang baik tuh, sehingga dicurigai macam-macam," tutur Fatwa saat diwawancarai merdeka.com di Gedung DPD, Jakarta, Senin (27/2).

Fatwa mengatakan, sebenarnya, demonstrasi mahasiswa yang dia ikuti saat itu hanya mengkritik kebijakan Menteri Agama. Namun, oleh aparat, demo itu dinilai merongrong kewibawaan Bung Karno. Fatwa juga dianggap sebagai penghubung tokoh-tokoh yang suka mengkritik Bung Karno. Dia akhirnya ditahan dengan tuduhan menggerakkan demo mahasiswa dan dijerat dengan Undang-undang 11/1963 atau yang dikenal dengan UU Subversi.
Diciduk oleh pihak intelijen, Fatwa kemudian dibawa ke Markas Besar Angkatan Kepolisian (Mabak) yang kini gedungnya menjadi Polda Metro Jaya. Kemudian dia dipindahkan ke Sukabumi, Jawa Barat. "Saya ingat, yang menangkap saya Komisaris Polisi FX Soetarto yang di era Orde Baru ditahan bersama-sama saya di Cipinang," ujar Fatwa.
Selama di Sukabumi, Fatwa diinterogasi. Dia mengaku tidak mengalami penyiksaan secara fisik, tapi mengalami teror mental. Dia diperiksa dengan cara dikerubungi oleh belasan penyidik. "Hanya dibakar kumis saya, oleh seorang komisaris polisi," ujarnya.
Satu bulan ditahan dan menjalani pemeriksaan di Sukabumi, Fatwa kemudian dipindah ke Jawa Tengah; Solo, Karanganyar dan Tawangmangu. Dia tidak ditempatkan di penjara namun di sebuah hotel kecil yang bagian jendelanya sudah dipaku dari luar. Fatwa juga sempat dipindah ke sebuah kompleks perwira polisi. Setiap minggu dia dipindah tempat selama enam bulan lamanya.
Saat rezim Orde Lama berganti dan Soekarno lengser, Fatwa dipindahkan lagi ke Jakarta dengan status tahanan kota. Kapolri Soetjipto Joedodihardjo saat itu cukup dekat dengan kalangan tokoh Islam. Ketika perubahan politik terjadi, Fatwa pun bebas begitu saja tanpa pernah menjalani persidangan.
Tak kapok, Fatwa pun kembali ke dunia aktivis dengan tetap aktif ikut berbagai demonstrasi. Dia bersama mahasiswa lain menjadi motor demonstrasi mendukung pemerintahan Orde Baru. Namun bulan madu itu tidak berlangsung lama ketika Presiden Soeharto dan rezim Orde Baru mulai menunjukkan kediktatoran.
"Di Orde Baru saya mendukung, tapi lama-lama kok setelah beberapa periode, kita melihat ini sudah menyimpang dari arah semula. Maka, ya saya menyampaikan kritik-kritik seperti melalui khotbah Jumat, yang isinya banyak dibuat dalam bentuk buku, sehingga buku-buku saya dilarang," ujarnya.
Kekerasan fisik justru lebih parah dialami Fatwa saat Orde Baru. Dia mengalami teror kekerasan oleh para intel yang menyamar menjadi preman hingga gegar otak. Yang paling parah saat menyetir, dia dibacok celurit oleh orang tidak dikenal. Orang itu ingin membunuh Fatwa namun bacokannya meleset dan mengenai bibir atas. "Mandi darah saya. Kemudian, saya ke rumah sakit Angkatan Laut. Yang mendorong saya ke ruang operasi itu dua jendral purnawirawan Jendral Ali Sadikin dan Letnal Jendral HN Darsono. Itu waktu saya sekretaris Petisi 50," ujarnya.
Fatwa sempat menjadi Kepala Sub Direktorat Pembinaan Masyarakat Direktorat Politik Pemda DKI Jakarta/Staf Khusus untuk masalah-masalah agama dan politik Gubernur Ali Sadikin, 1970-1979. Makanya dia cukup dekat dengan Bang Ali. Fatwa dipecat sebagai PNS dengan tidak hormat pada 1979 karena aktivitasnya dan ceramah-ceramahnya yang membuat gerah pemerintah. Sebelum dipecat, pada tahun 1978, Fatwa yang menjadi pelaksana rapat akbar MUI pusat dan MUI DKI di Senayan untuk menyampaikan kebulatan tekad umat Islam menolak dimasukannya Aliran Kepercayaan dalam GBHN, dijerat dengan UU Subversi. Dia ditahan selama sembilan bulan.
Puncaknya pada tahun 1984, lagi-lagi dengan tuduhan subversi, Fatwa ditahan. Salah satu kasusnya adalah pembuatan 'Lembaran Putih' kasus Tanjung Priok. Dia diadili dan dijatuhi hukuman 18 tahun penjara dari tuntutan jaksa seumur hidup.
Soal penyiksaan di penjara, Fatwa menuturkan sudah biasa mengalami dipukul, ditendang, dan dinjak-injak. Salah satunya di Rutan Guntur, Jakarta Selatan. Tengah malam, para tahanan dikeluarkan dari sel, dibawa ke lapangan dan digunduli. "Namanya tahanan, pasti dikerjain," kenangnya.
Fatwa juga pernah dikurung dalam sebuah sel dan berdiri di atas sebuah kaca yang di sekelilingnya berisi kotoran manusia. Kemudian jam 3 pagi, dengan mata ditutup kain hitam, dia dibawa dengan mobil jeep. Kepalanya ditodong pistol, badannya ditodong sangkur sepanjang perjalanan. "Disuruh turun di suatu tempat, katanya mau ditembak. Waktu itu ramai petrus (penembakan misterius). Orang yang menangkap saya bilang 'Kamu akan dipetrus dan dikarungi. Apa pesan-pesan untuk keluarga'. Saya diam saja. Tidak jadi ditembak," tutur wakil ketua DPR 2004-2009 ini.
Sampai akhirnya, dia dibawa ke suatu tempat yang dia tidak tahu lokasinya karena sepanjang perjalanan matanya ditutup. Sebulan lamanya dia tidak tahu berada di mana "Saat pemeriksaan oleh jaksa, saya baru tahu tempat itu di Cimanggis. Sekarang jadi rumah tahanan militer (RTM). Dulu tempat itu luas sekali dan masih hutan dan alang-alang."
Fatwa mengaku ditahan bersama sejumlah orang yang terlibat peristiwa Tanjung Priok. Di Cimanggis dia tidak mengalami penyiksaan. Hanya saja dia tidak diperbolehkan beraktivitas, termasuk membaca Alquran. "Jadi bayangkan itu, berbulan-bulan tidak ada bacaan. Jadi kerjaan saya cuma mukulin lalat di sel. Ngejar lalat, saya pukul mati. enggak ada kerja. Enggak ada bacaan," pungkasnya. (*)