Yusak Anshori, Arek Kediri Sukses Jadi Tukang Hotel


Ingin Cepat Lulus karena Sudah Terlanjur Botak Empat tahun sekolah doktor, akhirnya Yusak Anshori bisa merampungkan pendidikan S3-nya itu. Dengan disertasi mengenai industri perhotelan, dia bisa memertahankan penelitiannya di depan 25 penguji. General Manager (GM) Surabaya Plaza Hotel itu juga bisa melengkapi kebahagiannya dengan memeroleh predikat cumlaude.
Selama 1,5 jam Cak Yusak, sapaan karib Yusak Anshori, memertahankan disertasinya dengan judul Pengaruh Orientasi Pasar, Intelectual Capital, dan orientasi Pembelajaran Manager terhadap Inovasi serta Kinerja Hotel Bintang Empat dan Lima di Jawa Timur. Dia 'dihajar' 25 penguji sekaligus, baik dari interen Pascasarjana Unair, kalangan akademisi maupun praktisi. Dari jajaran praktisi, tampak koleganya dari industri perhotelan seperti Bambang Hermanto (ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia/PHRI Surabaya), Hratch Kachanian (GM Sheraton Surabaya Hotel and Towers), (GM JW Marriott), GM Java Paragon Hotel), serta Dody Akhdiat, Ketua PHRI Kalimantan Timur yang juga GM Hotel Sagita, Balikpapan. Juga tampak wakil wali kota Arief Affandi yang dikenal menjadi sahabat dekat Yusak. Kalau dari kalangan kampus, ada beberapa tamu penguji dari FISIP, FK, FKM, dan FE Unair serta Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Yusak mengaku sangat tegang ketika ujian sedang berlangsung. Bukan karena dia tidak siap memertahankan disertasinya, tapi karena dia sudah tak sabar lagi ingin mendapatkan gelar doktor yang sudah ia damba dari lama itu. "Untuk menyelesaikan sekolah ini, saya butuh waktu empat tahun. Bagi saya itu sangat lama, karena targetnya harusnya tiga tahun saja," tegas pria kelahiran Kediri, 13 Oktober 1967 itu. Tak sia-sialah pejuangan pria yang menyelesaikan S1-nya di FISIPOL Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta itu. Karena jerih payahnya selama ini juga dianugerahi nilai cumlaude dengan IPK 3,75. "Jelek-jelek gini ternyata saya masih pinter lho," kelakarnya. Maklum kalau Yusak butuh waktu empat tahun untuk mengakhiri pendidikan S3-nya. Sehari-hari ia dikenal sangat sibuk. Selain harus menjalankan roda bisnis SPH, dia juga punya kewajiban mempromosikan Kota Pahlawan karena jabatannya sebagai executive director Surabaya Tourism Promotion Board (STPB), badan promosi wisata milik pemkot. "Beruntung saya ini punya bos yang sangat pengertian. Punya karyawan bandel, tapi tetap saja disupport habis-habisan. Trimakasih sebesar-besarnya untuk Pak Frans Bonang (President dan CEO Prime Plaza Hotel & Resort, jaringan yang membawahi SPH)," curhatnya. Yusak juga menganggap kesuksesannya menempuh studi S3 karena bantuan tulus karyawan SPH. Karena ingin menyelesaikan sekolahnya sebelum empat tahun, dia mengaku sering membuat deadline untuk karyawannya yang tak masuk akal. "Alhamdulillah mereka tahu kemauan saya. Mungkin ya sambat, tapi finally oke semua kok," akunya lantas diiringi senyum. Satu hal lagi yang membuat Yusak kepincut untuk segera menyelesaikan S3-nya adalah karena rambutnya sudah terlanjur botak. Lho kok bisa? Apa hubungannya? Ternyata, aku Yusak, kepalanya itu sudah botak sejak ia belum dapat gelar doktor. Karena kebotakannya itu pula, banyak orang menganggap dirinya pintar. "Botak kan identik dengan pintar. Botak juga identik dengan profesor-profesor. Jadi kalau saya botak tapi cuman lulus S2, kan malu. Minimal ya harus doktor-lah," selorohnya. Di SPH, Yusak dikenal sebagai GM nyleneh. Sebutan itu muncul setelah beberapa kali ayah dua anak ini membuat kebijakan yang tak semestinya. Paling gres dan dianggap penuh risiko adalah ketika hotel itu memutuskan menjadi hotel bebas asap rokok sejak Februari lalu. Meski pada akhirnya SPH dilengkapi ruang untuk merokok (per Juli), karena alasan kompromi pasar, toh kebijakan yang dibuat Yusak sebagai GM itu cukup mencengangkan. Apalagi selama ini SPH dikenal sebagai tempat yang nyaman untuk kongkow sambil menikmati sajian khas Suroboypo, seperti semanggi dan rujak cingur. Tapi saat itu Yusak tak gentar maupun takut okupansi (tingkat hunian) bakal terganggu. "Kami ingin mengawali diberlakukannya kawasan bebas asap rokok di Surabaya. Kalau semua lembaga saling tunggu, ya perda KTR (kawasan tanpa rokok) tak akan pernah bisa jalan," jelasnya kala itu. (*)