"Saya ini hanya
menanam akarnya," ujar Bu Nurhayati, pemilik kosmetik Wardah.
"Anak-anak kami yang membesarkannya," tambahnya.
Bu Nurhayati punya
tiga anak. Yang dua, laki-laki. Mengikuti jejaknya: kuliah di ITB. Hanya
beda-beda jurusan. Sang ibu kuliah di farmasi. Anak pertama ambil kimia. Anak
kedua belajar elektro.
Putrinya yang memilih
UI: masuk fakultas kedokteran. Pilih menjadi spesialis kulit.
Suami Bu Nurhayati
sendiri juga lulusan ITB. Kimia. Di ITB lah cinta bersemi. "Kampus kimia
dan farmasi kan berdekatan," katanya dengan tersenyum.
Nurhayati lulus ITB
dengan nilai tertinggi: cum laude. Lalu kuliah apoteker.
Keinginan awal
Nurhayati menjadi dosen. Dia melamar ke ITB. Ditolak. Nurhayati pulang ke
Padang. Membawa pertanyaan tak terjawab: mengapa ditolak jadi dosen.
Di Padang Nurhayati
bekerja di rumah sakit.
Pacaran berlanjut.
Jarak jauh. Pacarnya bekerja di perusahaan minyak.
Setelah menikah
Nurhayati ikut suami: pindah ke Jakarta. Bekerja di Wella. Merk kosmetik yang
terkenal kala itu. Yang pasar terbesarnya di salon-salon kecantikan. Belum ada
mall di zaman itu.
Lima tahun Nurhayati
bekerja di Wella. Di bagian laboratorium. Yang memeriksa ramuan-ramuan kosmetik
Wella.
Ketika akhirnya punya
anak Nurhayati berhenti bekerja. Merawat anak. Lahir pula anak kedua. Dan
ketiga.
Ketika anak bungsu
tidak menyusu lagi Nurhayati mulai berpikir punya usaha.
Yang terpikir pertama
langsung kosmetik. Sesuai dengan pendidikannya. Sesuai dengan pengalaman
kerjanya.
Kosmetik pertamanya
itu dia beri merk Putri.
Tidak laku.
Tidak ada salon yang
mau menerimanya.
Tetangganya
menyarankan ini: kerjasama samalah dengan pesantren. Kebetulan tetangga itu
keluarga pesantren Hidayatullah. Yang punya jejaring pesantren di mana-mana.
Kebetulan juga
Hidayatullah punya devisi ekonomi. Berbisnis di banyak bidang. Termasuk ritel.
Tim ekonomi
Hidayatullahlah yang minta merk Putri diubah. Menjadi Wardah. Artinya: mawar.
Disertai tulisan Arab yang berbunyi Wardah. Di logonya.
Mulailah Wardah
dipasarkan di pesantren-pesantren.
Tidak laku.
"Santri kan
tidak pakai kosmetik," ujar Bu Nurhayati mengenang. "Waktu itu".
Lalu terjadilah
reformasi. Tahun 1998. Rupiah anjlok.
Kosmetik impor mahal
sekali. Banyak sekali PHK. Korbannya orang-orang yang sudah biasa bekerja. Pada
periode PHK itulah mereka kerja apa saja. Banyak yang terjun ke multi level
marketing.
Bu Nurhayati
memanfaatkan peluang itu. Wardah dimultikan. Mulailah Wardah mendapat celah.
Produksi pun
meningkat.
Rumahnya tidak cukup
lagi. Dia beli tanah 1,5 ha. Murah. Di pinggiran Tangerang. Dengan dana
sendiri.
Akan dibangunnya
pabrik di situ. Pelan-pelan. Dengan dana sendiri.
Kebakaran.
Rumahnya terbakar.
Pabrik belum jadi.
Produksi terhenti.
Pasar yang mulai
terbentuk terancam: tidak ada lagi suplai.
Politik berbalik
arah. Setelah reformasi itu.
Tuntutan keadilan
kian nyaring. Pasca reformasi. Termasuk keadilan ekonomi.
Bank mulai
menyalurkan kredit untuk usaha kecil. Nurhayati mencobanya. Minta Rp 50 juta.
Bank memeriksa kemampuan Wardah. Termasuk menghitung masa depannya. Menilai
jaminannya: lebih dari cukup. Bank memberinya kredit Rp 140 juta.
Pabrik pun jadi.
Sederhana.
Anaknya lulus ITB.
Mau membantu ibunya.
Anak kedua juga lulus
ITB.
Juga mau ikut di
perusahaan.
Nurhayati membagi
tugas:
Anak pertama
mengembangkan pasar di wilayah barat Indonesia.
Anak kedua di wilayah
timur.
Urusan produksi cukup
ibunya. Menyangkut resep yang belum waktunya dibagi.
Ada pelajaran menarik
yang diceritakan Bu Nurhayati. Tentang pembagian tugas anaknya itu. Satu
pelajaran manajemen yang mahal nilainya.
Tunggulah besok.
(dahlan iskan / bersambung)