*Buta Itu Sebuah Kelebihan, Bukan Kekurangan
Muhammad
Ade Irawan tampil memesona dalam Recital Piano Tunggal yang dihelat di Gedung
Cak Durasim, Surabaya, Selasa (5/10), tujuh tahun silam. Pianis tuna netra yang
dijuluki Stevie Wonder-nya Indonesia itu tampil satu jam lebih dengan sejumlah
lagu di depan ratusan tamu undangan.
Termasuk Pimpinan Musium Rekor Dunia Indonesia (Muri) Jaya Suprana yang juga pemilik The Jaya
Suprana School of Performing Arts.
SELAMAT: Jaya Suprana (kiri) usai menyerahkan MURI kepada Muhammad Ade Irawan (tengah) yang kala itu dadampingi almarhum Idris Sardi. (foto: NET) |
Dalam
balutan jas warna gelap, remaja kelahiran Colchester, Inggris, itu memberikan
kejutan pada para pecinta musik jazz Kota Pahlawan. Ia memilih Indonesia Pusaka, lagu mengenai
kecintaan pada ibu pertiwi, dengan gaya jazz ringan untuk membuka konser
pertamanya di Surabaya untuk tahun 2010 lalu. “Indonesia Pusaka seringkali menjadi opening setiap konser Mas Ade
(Ade Irawan). Lagu itu selalu mengingatkannya untuk cinta pada tanah air,”
ungkap Irawan Subagyo, ayah sekaligus juru bicara Ade Irawan yang selalu setia
mendampingi.
Performa
selanjutnya, mantan siswa SLB A Pembina Tingkat Nasional, Jakarta, tersebut
memilih karya Chopin. Ia mainkan Prelude
dengan ragam gaya. Tak tanggung-tanggung, ada delapan genre musik yang ia mainkan untuk karya musisi besar itu. Prelude
dengan gaya jazz, rag, swing, bebop, cool
jazz, hard pop, free jazz serta fusion.
Memainkan satu lagu dengan beragam gaya, Ade Irawan sama sekali tak mengalami
kesulitan. Piano dengan jari-jemarinya seolah ‘intim’ berhubungan. Tak satu pun
ada nada yang lepas kontrol. “Satu lagu dengan delapan genre ini baru Mas Ade
bawakan di Surabaya. Di Jakarta saja kita belum mainkan lho,” urai Irawan yang
seorang pensiunan Angkatan Laut (AL) itu.
Mendapat
aplaus meriah untuk lagu Prelude, Ade
pun melanjutkannya dengan beragam karya. Salah satunya adalah lagu berjudul Untuk Ayla yang khusus diciptakan Jaya
Suprana untuk istrinya yang bernama Ayla itu. Kali ini ia juga memainkannya
dengan gaya ‘gado-gado’, seperti blues,
samba, soul, rumba rock, bosas dan jazz.
Jaya Suprana yang duduk berdampingan dengan Ayla terlihat sangat menikmati lagu
demi lagu yang dimainkan peraih penghargaan Muri untuk rekor Pianis Tunanetra
Termuda (16 th) tersebut. “Dengan jari-jemarinya, Ade menunjukkan bahwa musik
itu tidak bisa dikotak-kotak. Semua musik adalah satu kesatuan yang utuh,”
komentar Jaya Suprana yang selalu mengenakan setelan warna hitam itu. Ade
menutup konser tadi malam dengan karyanya sendiri, yaitu Chicago Blues, Ade Mood’s, dan Joy,
Joy, Joy.
Berbincang
dengan Ade, sungguh sangat menyenangkan.
Saya merasakan itu. Ia bercerita tentang musik maupun kehidupannya dengan tanpa
beban apapun.
Terlahir
mempunyai ‘kelebihan’ dari Tuhan, Ade mensyukurinya dengan cara memberikan ‘sesuatu’
yang bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Juga bagi negaranya (Indonesia),
meskipun ia tidak dilahirkan di sini.
Kata
ayahnya, Irawan Subagyo, Ade belajar piano secara otodidak. Putranya
itu sudah punya bakat musik jazz sejak ia lahir. Bakat itu kian berkembang
ketika Ade tinggal di Chicago, Amerika Serikat. Waktu itu Irawan sedang bertgas
di sana.
Lahir
tahun 1994, di usia 3 tahun Ade sudah mengenal musik. Ia juga sudah mencoba
bermain piano. Piano mainan, tentunya. Bahkan, saat usianya menginjak 5 tahun,
Ade sudah sering diajak menghadiri perhelatan musik jazz. Telinganya pun sudah
terbiasa mendengar musik jazz. Nah, di situlah lagu-lagu jazz juga sudah mulai
diperdengarkan oleh keluarganya. Baru di usia 6 tahun, Ade mulai belajar main
piano maupun keyboard. (*)