Saya lari mengambil HP. Yang lagi saya charge
di dekat pintu masuk. Ada pemandangan unik. Di masjid Tokyo, ini. Yang harus
saya abadikan di kamera: foto dan video.
Minggu subuh kemarin itu saya dapat tempat di
deretan tengah. Baris depan sudah penuh. Oleh jamaah subuh yang datang lebih
dulu. Begitu salat selesai saya diminta ke depan. Untuk memberikan santapan
rohani. Kuliah subuh. Tapi saya diminta menunggu dulu. Akan ada santapan
jasmani dulu.
Jamaah diminta menghadap ke kanan. Berarti:
orang yang tadi duduk di samping menjadi duduk di depan masing-masing. Lalu
datanglah komando ini: agar semua memijat pundak teman di depannya. Dengan
gerakan hujan rintik-rintik. Artinya memijit-mijit dengan gerakan ringan.
Saya tidak menyangka akan melihat itu. Di
dalam masjid. Saat wiridan baru selesai. Saat jamaah masih duduk rapi. Berderet
dan bersila. Saya pun lari mengambil HP. Lucu sekali gerakan mereka. Tak lama
kemudian datang komando baru: gerakan hujan batu! Maka tangan mereka pun dalam
posisi tergenggam. Dipukul-pukulkan ke punggung teman di depannya. Ada yang
memukulkannya dengan keras. Ada yang keras sekali.
Lalu ada komando yang lain lagi: hujan badai!
Genggaman dibuka. Lima jari diluruskan. Dikaratekan ke punggung teman di
depannya. Ada yang pukulan karatenya cepat. Ada yang cepat sekali. Komando pun
berubah lagi: angin sepoi-sepoi! Maka gerakan pijatnya menjadi pijat pelan.
Selesai. Eh, belum. Jamaah diminta berbalik. Yang tadi memijat ganti dipijat.
Dengan empat jenis hujan yang sama.
Inilah pijat masal. Di dalam masjid. Bakda
subuh. Khas masjid di Tokyo, Jepang. Di kompleks sekolah Indonesia. Milik
kedutaan besar kita. Subuh hari itu diimami oleh Ustad Fatah. Guru sekolah itu.
Asal Sunda. Yang berjamaah sekitar 60 orang. Penuh sekali. Sebagian wanita.
Sebagian sudah di situ sejak lewat tengah malam: qiyamul lail.
Sebagian lagi belum tidur sama sekali: masak.
Di dapur dekat masjid itu. Untuk sajian makan pagi. Bagi seluruh jamaah.
Gratis. Saya hanya bicara kurang dari lima menit. Jamaah di situ orang-orang
pintar. Mahasiswa S2 atau S3. Bahkan beberapa sudah bergelar doktor. Di bidang
ilmu yang berat-berat: ilmu komputer, ilmu material, konversi energi, kimia,
fisika ...
Saya lebih ingin mendengarkan mereka. Tentang
ilmu-ilmu mereka. Dan apa yang bisa dilakukan di kemudian hari. Salah satu
jamaah bertanya: bagaimana kelak bisa pulang. Untuk mengabdi ke tanah air. Ia
merasa tidak nasionalis. Kalau tidak pulang. Saya sampaikan: jangan punya
perasaan seperti itu. Indonesia juga perlu lebih banyak orang sukses di luar
negeri. Sebagai kekayaan nasional: kekayaan networking.
Jangan merasa kalau hidup di luar negeri
lantas tidak nasionalis. Bahkan saya anjurkan: begitu lulus jangan pulang dulu.
Bekerjalah dulu di Jepang. Paling tidak dua tahun. Untuk 'kuliah kehidupan'
yang sebenarnya. Di negeri yang disiplinnya tinggi. Mengapa? Agar tertular
sistem manajemen Jepang. Yang penularan seperti itu penting. Tidak bisa didapat
di bangku kuliah. S3 sekali pun.
Proses penularan itu berbeda dengan proses pengajaran. Dalam proses penularan akan terjadi internalisasi pada sikap dan watak. Yang kemudian membentuk karakter. Banyak pertanyaan subuh itu. Tapi waktunya terbatas. Saya harus segera memenuhi acara lain.
Proses penularan itu berbeda dengan proses pengajaran. Dalam proses penularan akan terjadi internalisasi pada sikap dan watak. Yang kemudian membentuk karakter. Banyak pertanyaan subuh itu. Tapi waktunya terbatas. Saya harus segera memenuhi acara lain.
Sehari sebelumnya saya menghadiri acara TICA.
Tokyo-Tech Indonesia Commitment Award. Yang diadakan Perhimpunan Pelajar
Indonesia di situ: Tokyo Institute of Technology. MIT atau ITB-nya Jepang. Acara
itu diselenggarakan tiap tahun. Ini tahun kesembilan. Kian tahun kian menarik
perhatian. Tahun ini ada 400 penelitian mahasiswa. Yang ikut kompetisi. Tiga
finalisnya diundang ke Tokyo. Ke acara ini. Selama empat hari.
Kali ini finalisnya cewek semua! Ampuuuun.
Pinter-pinter. Cantik-cantik pula: dari ITB (Ayu Lia Pratama), dari Brawijaya
Malang (Elviliana) dan dari ITS Surabaya (Nadhira Nurfathiya). Wartawan Disway
bersama para finalis dan juara: Lia.
Juaranya yang dari ITB itu. Yang kuliah di
jurusan fisika. Dia mengambil fisika nuklir. Lia adalah gadis kota kecil:
Ponorogo. Ayahnya kerja mandiri: vulkanisir ban. Lia mengajukan penelitiannya:
penggunaan plutonium yang lebih efisien untuk reaktor nuklir HTGR.
Sedang Elviliana mengajukan penelitiannya di
bidang listrik: dari kulit pisang dan kulit kacang. Yang dimasukkan reaktor.
Lalu diberi katoda dan anoda. Kesimpulannya: yang dari kulit pisang
menghasilkan lebih banyak listrik. Dibanding yang kulit kacang. Tapi Elviliana
belum meneliti keekonomiannya. Misalnya: sama-sama satu ton kulit pisang, mana
yang lebih banyak menghasilkan listrik: dengan cara dia itu atau dengan cara
diambil gas metannya.
Nadhira, ITS, mengajukan penelitiannya di
bidang deteksi logam berat. Menggunakan kulit semangka dan kulit jeruk. Banyak
pertanyaan sulit-sulit. Dari dewan yuri. Salah satunya Dr Misbakhul Huda. Yang
meraih gelar doktor pada umur 27 tahun. Di bidang nanotechnology.
Dr Misbakhul adalah anggota OPEC: Orang
Pecalongan. Rumahnya dekat guru tasawuf Habib Lutfi. Dr Misbakhul sendiri kini
menjadi Ketua Nahdlatul Ulama cabang Jepang. Tahun depan tentu lebih banyak
lagi peminat TICA. Rasanya PPI di universitas ini telah menemukan reputasinya. Saya
pun siap memberikan pijatan angin apa pun pada finalisnya. Tahun depan. (Dahlan Iskan)