Ini cerita tentang proses melahirkan Rafael
Zahiru Haq, 11 tahun silam. Karena bisa melahirkan normal, saya dan suami
sepakat melahirkan buah hati pertama kami di Ponorogo. Kota Reog adalah tanah
kelahiran saya. Pertimbangannya, ada ibu di rumah. Ibu akan bisa merawat saya
dan cucunya.
Singkat kata, hari kelahiran itu telah tiba. 12
Mei 2016 tengah malam, sekitar pukul 00.30, saya meluncur ke bidan yang sepekan
terakhir menggantikan dokter di Surabaya yang menjadi konsultan kehamilan saya.
Kami diantar tetangga yang kebetulan punya mobil, dan legowo untuk mengantar meskipun
itu tengah malam.
Sebelum masuk mobil, saya telepon suami yang
berada di Surabaya. “Bapak, kayaknya aku mau melahirkan. Kontraksinya sudah
terasa sejak habis salat Mahgrib tadi,” cerita saya dengan tenang.
Suami kaget. “Lho, katanya masih seminggu
lagi,” tanyanya penuh kekhawatiran. “Ya sudah aku tak pulang sekarang,”
sambungnya.
Sampai ke bidan, ternyata sudah bukaan tiga.
“Dibuat jalan-jalan, Mbak. Biar nggak terasa sakit,” kata salah satu perawat.
Saya pun manut.
Sebenarnya kontraksinya tak sakit-sakit
banget. Tak seperti yang digambarkan di sinetron-sinetron bahkan di film-film. Sambil nunggu tambahan bukaan, saya pakai
jalan sambil tangan kanan pegang tasbih membaca lafalan yang saya bisa. Tangan
kiri tetap pegang handphone, jika sewaktu-waktu suami telepon.
Mendekati jam 03.00, (maaf) celana dalam saya
terasa sangat basah. Saya pun bilang ke perawat. “Lho, berarti itu sudah mau
lahiran, Mbak. Ayo segera ke kamar bersalin,” kata perawat.
Benar juga. Begitu diperiksa, ternyata sudah
bukaan delapan. “Mana ini suaminya? Mau ditungguin nggak,” tanya bidan. “Suami
saya masih perjalanan, Bu,” jawab saya, pendek.
Di kamar bersalin itu, hanya ada saya, dua
perawat, dan seorang bidan. Ibu yang mengantar saya, memilih berada di luar
karena tak tega melihat anaknya melahirkan. Karena sejak awal saya sudah
perkirakan situasi seperti itu akan terjadi, mental saya siap-siap saja. Dalam
perasaan saya ketika itu hanya ada kata
ikhlas. Semua saya serahkan pada Tuhan.
“Ya sudah, ditemani suami lewat telepon saja,
ya,” bidannya memberikan ide. Menggunakan handphone saya, perawat membantu
menyambungkan dengan suami. Alhasil, proses lahiran untuk pertama kali dalam
hidup saya ditemani suami, tapi hanya suaranya saja.
Lewat suaranya, suami saya kelihatan kebingungan.
Juga ada nada khawatir di suaranya. “Aku masih sampai Kertosono. Yang kuat ya
say. Ayo semangat, mama pasti bisa,” semangat suami berulangkali.
Saking konsennya mengejan, suara suami nyaris
tak terdengar. Tapi, saya masih mendengar samar-samar ketika dia mengucapkan
ayat-ayat Alquran (saking konsennya ngejan, saya tidak tahu apa yang dibaca
suami).
Masih lewat telepon, suami terus memberi
semangat. Beruntung, proses lahiran saya (kata bidannya) relatif sangat cepat.
Mulai dari mengejan sampai si baby lahir,
tak sampai 45 menit. Tepat pukul 03.00, suara tangisan yang sudah saya dan
suami rindukan sembilan bulan lebih, akhirnya muncul. “Allahu Akbar, Allahu
Akbar,” suami langsung azan begitu suara tangisan anaknya pecah.
Itulah cerita tentang persalinan saya yang
‘ditemani’ suami. Meskipun tidak secara fisik, tapi lewat teknologi saya tetap
merasa suami hadir di ruangan persalinan menemani dan menyemangati saya
melahirkan. Karena tidak semua perempuan diberi kesempatan melahirkan dengan suami
di sampingnya. Ya seperti saya ini. Karena proses kelahiran mbleset dan relatif
lebih cepat, akhirnya suami nggak nututi untuk menemani. (*)