Begitu banyak yang serba kebetulan di balik melejitnya
kosmetik Wardah. Tapi saya tidak setuju kalau itu disebut kebetulan. Seperti
juga suksesnya Rusto's Tempe di Jepang
itu. Wardah kini begitu majunya. Pabriknya sudah 20 hektar. Karyawan ya sudah
11.000 orang. Sudah mengalahkan pemain asing di Indonesia. Terpilih sebagai
perusahaan yang growth-nya tercepat di dunia. Nomor 6 sedunia. Adakah semua itu
kebetulan? Kebetulan yang membuatnya
menjadi begitu besar dan kaya?
Saya tetap tidak mau menyebutnya kebetulan. Wardah
kembali menjadi contoh saya. Yang sering saya sebut sebagai "kebetulan
yang diusahakan". Bos besar Wardah, ibu Nurhayati, menyebutnya sebagai
pertolongan Tuhan. Saya mendengarkan dengan antusias. Saat dia memberikan
seminar di Surabaya. Sabtu lalu. Bersama saya. Di depan ibu-ibu Forum
Pemberdayaan Perempuan Indonesia.
Menarik sekali pemaparannya. Ibu-ibu banyak
sekali yang unjuk tangan: ingin bertanya. Setelah tiga penanya, moderator ingin
mengakhiri sesi itu. Sudah tiba waktunya giliran saya berbicara. Saya tidak
tega melihat banyaknya tangan yang diangkat. Saya minta ini: alokasi waktu untuk saya diberikan ke ibu Nurhayati. Untuk
melanjutkan tanya jawab itu. Ini kan tema yang hot untuk ibu-ibu: kosmetik,
tokoh wanita, sukses sebagai istri, sukses sebagai ibu, sukses sebagai
pengusaha, sukses sebagai pribadi, terus melejit dan kaya. Saya juga perlu
lebih banyak mendengar. Untuk bahan menulis di disway ini. "Saya tambahkan
teori empat P menjadi lima P," ujar bu Nurhayati. "Product, Price,
Place, Promotion dan ini dia: Pertolongan Tuhan". Begitu banyak Pertolongan
Tuhan itu untuk Wardah. Saya bisa menambahkan satu sukses lagi untuk beliau:
sukses menahan diri. Lihatlah: beliau rendah hati. Tanpa tampak sengaja
merendahkan hati. Baju panjangnya bagus. Tapi tidak mewah. Bahannya songket. Sandalnya
biasa saja. Tidak jelek. Juga tidak mahal. Saya sebut sebagai sandal
fungsional: yang penting enak dipakai. Dan sehat untuk struktur tulang
pemakainya. "Bu...", tanya saya saat berdua di dalam mobil. Agak
hati-hati. "Kok ibu tidak pakai make up?" "Ya... pakai lah Pak...
cuma tipis. Saya kan sudah berumur," jawabnya. Saya tatap kembali
wajahnya. Kali ini tidak hanya sesapuan. Oh iya... pakai make up. Tipis.
Lipstik juga. Tipis. Ada banyak kebetulan, eh pertolongan Tuhan, yang beliau
ceritakan. "Tahun 2009 saat kami merelaunching Wardah hijaber lagi booming,"
katanya. Demikian juga saat terjadi musibah kebakaran di rumahnya. Yang juga
'pabrik' kosmetiknya. Saat itu bank lagi punya program menggalakkan kredit
untuk usaha kecil. Wardah minta kredit Rp 50 juta. Justru diberi Rp 140 juta. Saat
itu, tahun 2002, Wardah baru saja mulai ingin punya pabrik. Agar jangan
industri rumahan lagi. Eh, rumahnya terbakar. Yang di pinggiran Jakarta Selatan
itu. Selesai seminar saya antar Bu Nurhayati. Ke mana pun beliau akan pergi.
Saya ingin banyak bertanya. Termasuk make up nya yang tipis tadi. Yang tidak
seperti mewakili sosok pengusaha kosmetik. Setidaknya pengusaha yang pernah
saya kenal: Mooryati Sudibyo. Atau Martha Tilaar. Yang tampil selalu dengan
make up yang perfect. Dalam hal penampilan pribadi Bu Nurhayati justru seperti
apa adanya. Wanita biasa. Termasuk tujuan ke mana saya harus mengantarkannya
ini. Ternyata beliau ingin ke stasiun Gubeng. Hah? “Saya harus ke Solo, Pak.
Naik kereta api saja, " katanya. Begitulah. Apa adanya. Fungsional. Berarti
ada waktu satu jam lagi. Yang bisa saya manfaatkan untuk berbincang. "Lho...
ibu ini sendirian? “ tanya saya. "Dengan suami Pak. Tapi lagi cari makan.
Katanya kangen makanan Surabaya". Sang suami ternyata pernah tinggal di
Surabaya. Saat SD dan SMP. Ikut orang tua. Yang jadi tentara. Waktu kami tiba
di Gubeng suaminya belum datang. Saya antar Bu Nurhayati ke ruang tunggu. Saya
sudah telat untuk acara saya berikutnya. Ingin sekali sebenarnya berkenalan
dengan suami yang hebat itu. Gagal. Saya menarik kesimpulan: bu Nurhayati
adalah jiwa yang matang. Sosok wanita Padang mewujud sempurna dalam pribadinya.
Mandiri tapi patuh suami. Kaya tapi tidak menampakkannya. Rendah hati tanpa
dibuat-buat. Pekerja keras tanpa kelihatan ngoyo - memaksakan diri.(dahlan
iskan/bersambung)