Kebetulan pula. Saya
harus nonton Liverpool malam itu. Tidak mau meneruskan terbang malam ke
Tokyo. Di Beijing saya tidak pernah mengharapkan ini: bisa nonton Liga
Inggris di hotel. Biar kelas hotel St Regis sekali pun. Harus cari cafe
sport. Nobar di cafe seperti itu.
Saya pun ke sana. Masih
mengenakan jaket. Yang ada lambang bendera Korea Utara.
Cafe itu penuh sesak.
Mayoritas kulit putih. Pendukung Liverpool. Saya sendiri yang Indonesia. Saat
saya tiba, ada yang sudah setengah mabuk. Kebanyakan minum bir. Tidak
henti-hentinya pula: menyanyikan lagu-lagu Liverpool. Kadang sampai badannya
menutupi layar. Saya harus menggeser kepala. Untuk tidak ketinggalan jalannya
bola.
Tiba-tiba yang
nyanyi-nyanyi itu mendekati saya. Mendekatkan matanya ke jaket saya: ke lambang
yang menempel di dada. Melihat lambang Korea Utara itu ia langsung melupakan
Liverpool. Ia berteriak-teriak. Sambil merangkul-rangkul saya. Dari mulutnya
keluar aroma bir yang berbusa. ''I love Kim Jong-Un, I love Kim Jong-Il, I
love Kim Il Sung,'' teriaknya. Berkali-kali. Berulang-ulang. Sambil terus
memeluk tubuh saya. Menunjuk-nunjuk lambang di dada saya.
Ia orang kulit putih.
Badannya kecil --untuk ukuran orang bule. Saya ingin tahu siapa ia. Tapi
masih begitu emosionalnya. Biarlah puas dulu dengan emosinya: memuja Kim
Il-Sung. Dalam setengah mabuknya.
Setelah agak reda baru
saya rangkul ia. Saya beritahu bahwa saya dari Indonesia. Saya khawatir ia
mengira saya dari Korea Utara. “Saya baru datang dari Pyongyang. Sore tadi,''
kata saya: mengapa mengenakan lambang Korea Utara.
Ia ternyata tidak peduli.
Bahkan kian semangat. ''Kita semua cinta Kim Jong-Un,'' teriaknya. Sambil
jalan muter-muter. Di dalam cafe. Sambil menenteng pegangan gelas birnya.
Ternyata ia orang Irlandia. Sudah dua tahun tinggal di Beijing. Membawa serta
cinta Liverpoolnya.
Ia adalah guru bahasa
Inggris. Untuk anak-anak TK sekolah swasta. Ia menyukai anak-anak. Ia ingin
terus memperpanjang kontraknya. Sampai setidaknya lima tahun. Gajinya
memuaskannya: Rp 50 juta/bulan.
Kami makin akrab. Saya
beritahu bahwa saya pernah ke Irlandia. Sampai ke pelosoknya. Saya tunjukkan
peta pedalaman itu. Ia kaget. Kampungnya tidak jauh dari situ. Merangkul saya
lagi. Lebih lama.
April lalu ternyata ia
juga ke Pyongyang. Yang lagi semarak. Memperingati hari kelahiran Kim Il
Sung. Ia jatuh cinta pada Pyongyang. Ia setuju semua apa yang saya ucapkan.
Tentang penilaian saya atas Pyongyang. Seperti yang saya tulis beberapa seri
di Disway.
Emosinya tambah meluap.
''Saya mau ke sana lagi. I love Kim Jong-Un'', teriaknya. Lalu menghilang.
Eh, datang lagi. Membawa tiga botol bir. Yang sudah dibuka tutupnya.
Diletakkan di depan saya. Dengan hentakan botol yang menimbulkan bunyi
mengagetkan. ''Mari bersulang. Untuk kim Jong-Un,'' teriaknya.
Saya ambil satu botol.
Saya angkat tinggi-tinggi. Saya benturkan ke gelasnya. ''Kim Jong-Un wan
sui,'' kata saya. Ia tertawa lebar. Ia sudah mengerti sedikit-sedikit bahasa
Mandarin. ''Wo ai Kim Jong-Un,'' balasnya. Dalam Mandarin logat Irlandia.
Ia memaki-maki pemimpin
negara barat. Yang memberi kesan Korea Utara begitu buruknya. Gooollll...!
Liverpool cetak gol. Lewat kaki Mohamad Salah. Ia kaget. Semua pengunjung
cafe berteriak. Ia bergegas melihat ke layar. Melihat ulangan terjadinya gol.
Lalu meneriakkan nyanyian berjudul Mo Salah. Khas pendukung Liverpool. Sambil
keliling dari meja ke meja. Mengajak yang lain menyanyi. Saya ikut menyanyi.
Hafal sedikit. Ketularan teman-teman BigRed. Saat sering nonton bareng
Liverpool di Surabaya. Di Cafe DejaVu. Yang tanpa AC. Seperti terbakar. Yang
penuh asap rokok. Yang nuansa riuhnya mirip di stadion.
Di situ juga: sering ada
orang bule ikut nobar. Asal Austria. Gila Liverpoolnya ampun-ampun. Dan minum
birnya. Mirip yang Irlandia di Beijing itu.
Saat si Irlandia
merayakan gol Liverpool itulah: saya angkat satu botol bir. Saya tuangkan
isinya ke gelasnya. Dua botol lainnya saya balikkan ke meja bar tender. Pasti
ia mabuk kemenangan. Mengira saya menghabiskan tiga botol bir traktirannya.
(dahlan iskan)
|