Heri Lentho, Koreografer Parade Surabaya Juang


HUMBLE: Heri Lentho (kaos merah) di antara pengisi acara PSJ

Tahun ini perhelatan Parade Surabaya Juang (PSJ) tepat berusia 10 tahun. Koreografi tari kolosal yang melibatkan ribuan pemain itu sejak 2008 menjadi tontonan wajib untuk mengingat pertempuran 10 November. Sejak kali pertama digelar, PSJ sukses membius penonton. Setiap tahun, selalu ada sentuhan-sentuhan baru di PSJ. Siapa sosok di balik kesuksesan PSJ? Sosok itu namanya Heri Prasetyo. Tapi, ayah dua anak itu lebih dikenal dengan nama Heri Lentho. 

Di Surabaya, lentho adalah makanan yang sering kita jumpai di lontong balap. Rasanya gurih, dibuat dari bahan utama ketela pohon dan kacang merah yang dihaluskan lalu digoreng. Lantas, kenapa Heri Prasetyo justru lebih dikenal dengan nama Heri Lentho?
Ternyata ada ceritanya. Ketika masih tinggal di Malang, tepatnya saat masih sekolah di SMAN 5 Malang, Heri Prasetyo adalah ketua sanggar tari dan wayang orang di kampungnya. Namanya Madyopuro. Nah, di sanggar itu ada dua nama Heri. Dua nama di satu sanggar, tentu saja bikin repot yang lainnya. Repot manggilnya. “Masak harus manggil nama panjang. Nggak lucu kan,” cerita Heri.
Akhirnya, semacam ada kesepakatan jika dua nama Heri itu dibedakan dengan nama belakang yang tak sama. Dipilihlah nama makanan yang sehari-hari menjadi lauk. Heri Prasetyo kebagian nama lentho, sementara Heri yang satunya pakai nama peyek. “Jadilah saya dipanggi Heri Lentho, dan teman saya pakai nama Heri Peyek,” kelakarnya. 
Tak berhenti sampai di situ, nama Lentho semakin kukuh menjadi identitas Heri Prasetyo ketika di tahun 1990, ia sukses mementaskan karya berjudul Lentho di perhelatan Sasata Kasira di Gedung Cak Durasim, Surabaya. Karya tari itu berupa tarian tunggal yang diiringi puisi karya WS Rendra. “Ya sejak saat itu, Lentho melekat pada diri saya. Orang kenalnya ya Heri Lentho, bukan Heri Prasetyo lagi,” jelas Heri Lentho yang sejak dulu memilih berkepala pelontos. Kepala pelontos juga diidentikkan dengan lentho lho.
Koreografer yang aktif menghasilkan karya ini mengaku, keluarga punya andil besar dalam membentuk nilai-nilai yang ia pegang saat ini. Heri Lentho mengaku lahir dari keluarga sederhana, tapi begitu mencintai tanah air.
Sang ibu lah yang membuat darah merah putih begitu melekat dalam dirinya.  Ibunya dulu adalah seorang juru masak gerilya yang pernah diculik dan dijadikan tukang masak. Kisah-kisah yang ibunya alami dulu, masih sangat melekat di benaknya hingga kini. “ Bagaimana ibu dulu ketika tidur didatangi pasukan berpakaian serba hitam, kemudian disunggi melewati sungai. Itu sekarang masih lekat di ingatan saya,dan banyak kisah perjuangan lain,” paparnya.
Pengalaman heroik lain juga ia dapatkan dari sang paman. Pamannya adalah seorang veteran gerilya yang kehilangan penglihatan setelah berperang. Heri kecil memiliki tugas sebagai penuntun si paman tadi. Namun sesuatu yang tak pernah ia lupa hingga kini adalah, sebagai imbalan menuntun sang paman, ia selalu mendapat hadiah. Hadiahnya adalah dinyanyikan lagu-lagu perjuangan.  Lamat-lamat ia bernyanyi. “ Gerilya kita tetap gerilya. Tentara Nasional Indonesia selalu bergembira di mana pun berada. Gerilya sekali lagi gerilya.“  Begitu ia nyanyikan lagu kenangan perjuangan itu hingga habis. Suatu momen wawancara yang sangat jarang terjadi semacam ini.
 Bahkan akunya, hadiah yang ia terima dari sang paman tak hanya satu dua, namun banyak, dan semua masih ia hafal. Lagu-lagu dan cerita itu pun ia turunkan pada anak-anaknya sejak kecil. Ia berharap darah merah putih tetap mengalir pada generasinya.
Heri  juga sangat bangga dengan sikap yang diturunkan oleh sang nenek. Dari neneklah, ia belajar nilai-nilai kedisiplinan. Meski koreografer adalah seorang seniman, namun ia memegang prinsip disiplin diri. Misalnya selalu tepat waktu dalam setiap janji bertemu.
Layaknya semangat juang dari keluarganya juga menurun ke dirinya. Meski tak ada biaya, Heri memimpikan pendidikan yang baik. Di tempat kelahirannya, Malang, Heri harus lari marathon ke kota untuk sampai di sekolah. Ia belajar bagaimana tidak kalah pada keadaan.
Hingga kini, ia masih menaruh rasa kagum kepada sang paman. Meski cacat karena berperang, sang veteran idolanya ini tidak mengurus tunjangan atau pensiunan pada pemerintah. Kalau kata sang paman, hal itu mencederai   kodratnya sebagai pejuang. Melihat perjuangan tulus keluarganya, timbul perasaan malu dalam dirinya kalau lelahnya dalam berkarya menggerakkan anak muda, dibarengi dengan keluhan. (*)