Anti Guyon Emak-Emak dari North Carolina



Suami-istri ditanya resep panjang perkawinan mereka. Jawab sang suami: beri kepercayaan pada istri. Jangan pekerjaan kecil-kecil pun dilakukan suami.
Pekerjaan kecil itu seperti apa? Misalnya membeli mobil, mendepositokan uang di bank, membeli rumah baru.... Semua itu berikan wewenang ke istri. Pekerjaan besar saja yang dikerjakan suami. Lho yang pekerjaan besar itu seperti apa? Misalnya: mengganti presiden.

Lelucon itu beredar di Amerika. Sejak setahun yang lalu. Saya tahu saat saya di sana. Tapi lelucon itu tidak valid lagi. Di North Carolina terbentuk gerakan ibu-ibu. Yang sangat kuat. Agar calon DPR dari Demokrat di distrik di situ bisa menang. Di pemilu tanggal 6 Nopember minggu ini. Mengalahkan calon Republik. Mereka itu dulunya tidak peduli politik. Majalah Time menjadikan gerakan emak-emak Amerika itu laporan utama. Di Time terbaru: bagaimana mereka begitu gigih. Mengetuk pintu dari rumah ke rumah. Tiada lelah.
Pileg itu tinggal tiga hari lagi. Semua anggota Kongres (DPR) dipilih ulang: 435 kursi.  Untuk Senat (DPD), hanya 35 yang dipilih. Dari 100 anggota Senat.
Ada enam kursi Kongres yang tidak ikut pileg. Mereka mewakili daerah-daerah khusus: Washington DC, Porto Rico, Virgin Island, Kepulauan Mariana, Samoa dan Guam. Enam anggota Kongres ini tidak punya hak suara. Hasil Pileg ini sangat menentukan bagi presiden Donald Trump. Kalau Demokrat yang menang bisa-bisa Trump dijatuhkan. Itulah misi gerakan ibu-ibu di North Carolina tadi. Yang kemudian menginspirasi kawasan-kawasan lain di seluruh Amerika.
Isu pileg pun berubah drastis: tidak mau membicarakan isu-isu nasional. Yang berat-berat. Mereka fokus ke isu lokal. Mengenai persoalan di dapil mereka masing-masing. Misalnya di dapil 39 California. Isunya sangat khas: calon berdarah Asia lawan caleg keturunan Spanyol.
Kampanye nya pun beda dengan dapil lain. Penggunaan WeChat lebih dominan dari WA. Ada 300 ribu keturunan Asia di California. Yang Tionghoa umumnya pakai WeChat. Total keturunan Asia mencapai 32 persen penduduk.
Kebetulan. Kali ini caleg di Dapil 39 keturunan Korea: Young Kim. Wanita. Umur 54 tahun. Bukan saja keturunan Asia. Dia bahkan masih lahir di Incheon, dekat bandara Seoul.
Kim sudah berpengalaman bertarung di arena caleg. Di tahun 2014. Saat berhasil menggeser Sharon Silva di DPRD negara bagian California. Dengan kemenangan 56,6 persen. Lalu dikalahkan lagi oleh Silva. Di pileg berikutnya. Dengan prosentase kekalahan yang sama.
Di pencalegan Kongres ini Kim mewakili partai Republik. Ingin meneruskan keanggotaan Ed Royco. Yang tahun ini memutuskan tidak nyaleg lagi. Biar pun usianya baru 67 tahun. Usia 67 tahun itu saya tulis 'baru' semata karena umur saya juga 67 tahun.
Royco sudah 14 kali terpilih jadi anggota DPR. Sejak 1993. Bahkan sebelum itu sudah terpilih sebagai anggota Senat. Kim adalah kader langsung Royco. Dia terus menempel Royco di Kongres. Lebih 10 tahun. Dialah yang atur-atur lobi politik.
Pencalonan Kim mendapat dukungan penuh Royco. Satu dukungan yang amat penting. Di samping dukungan dari masyarakat keturunan Asia.
Tapi lawannya juga tangguh: Gilbert Cisneros. Keturunan Spanyol. Anak seorang veteran perang Vietnam. Yang ibunya kerja sebagai pelayan restoran. Gilbert tidak ikuti jejak ayahnya. Ia berbisnis. Sampai bisa menjadi pemilik pabrik semen Portland.
Delapan tahun lalu terjadi kehebohan. Gilbert jadi pembicaraan semua orang: menang lotre sekitar Rp 4 triliun. Tepatnya US 266 juta dolar. Sebagian uang itu ia pakai modal yayasan. Untuk memajukan pendidikan masyarakat keturunan Spanyol di daerahnya. Ia sangat populer di sana. ''Dulunya saya anggota partai Republik. Tahun 2008 saya pindah ke Demokrat,'' ujar Gilbert. ''Partai Republik telah menjadi terlalu ideologis,'' katanya.
Itulah problem dunia sekarang. Terlalu banyak orang yang meninggalkan ideologi. Yang ideologis pun kemudian melawan: menjadi lebih nemen ideologisnya.
Bandul politik lagi ke kanan. Di Amerika, Brazil, Jerman, Inggris, Prancis dan di mana-mana. Tantangan yang nyata: bagaimana menariknya kembali ke tengah. (Dahlan Iskan)