Jadi istri itu berat tugasnya. Agar dapur tetap mengepul, istri kudu pinter-pinter ngatur keuangan. Tapi, lain cerita kalau gak ada uang untuk diatur. Seperti nasib miris yang dialami Karin, 27, ini.
Kegemasan Karin pada Donwori, 29, sudah di ubun-ubun.
Bagaimana tidak. Laki-laki yang sudah ia nikahi selama tiga tahun ini tak peka sama sekali pada persoalan domestik. Termasuk urusan perekonomian. Bukannya merasa bersalah tak bisa memberi nafkah yang cukup, Donwori justru selalu menuduh Karin perempuan yang boros.
"Boros iku ya...kalau sebulan dapat jatah Rp10 juta terus dibeliin swarovski atau guci. Lha ini seminggu cuma Rp 50 ribu, ya gak cukup lah. Opo gak ngerti yen saiki rego ayam sekilo Rp 40 ribu. Yo ngene kuwi yen asal njeplak," sambat Karin saat berada di ruang tunggu Pengadilan Agama (PA) Klas 1A Surabaya, belum lama ini.
Sembari menunggu sidang perceraian yang ia urus sendiri itu, Karin mulai bercerita pada Radar Surabaya. Pekerjaan sehari-hari Donwori adalah waiters di salah satu tempat makan di ibu kota. Idealnya, pekerjaan itu sudah mampu untuk mengkaver kebutuhan sehari-harinya bersama anak dan istri. Namun, nyatanya, uang yang dikirimkan Donwori untuk Karin ngepress pres. Nyaris tak cukup malah.
"Uang Rp 50 ribu itu mung dadi slilit, makan sehari tiga kali untuk dua mulut. Belum anak yang masih kecil suka jajan. Itu gimana aku nyukup-nyukupne," imbuhnya lagi dengan kesal.
Perempuan berambut panjang ini curhat jika ia sudah tak terhitung lagi menangisi nasibnya. Bagaimana pun uang pemberian Donwori ia putar, rupiah itu tetap tak cukup baginya. Bahkan, setelah mendapat jatah mingguan dari suaminya, ia selalu menangis alih-alih senang.
Karin semakin mengeluh tatkala suaminya ini marah-marah. Donwori tak pernah mau tau bagaimana Karin mengolah keuangan. Yang ia tahu, uang segitu akan cukup untuk makan seminggu. Padahal kebutuhan rumah tangga tak hanya makan. Ada sabun, shampo, listrik, pulsa, bayar smpah, iuran RT dan masih banyak rentetannya. Belum lagi kalau ada undangan kondangan. "Wes gak mikir kondangan, buat sehari hari ae seret," tandasnya.
Di awal-awal pernikahan sih Karin masih bisa bertahan gara-gara uang tabungan yang ia kumpulkan sejak perawan. Namun sudah dipakai bertahun-tahun tanpa income yang memadai ya habis juga akhirnya.
"Sebelum nikah aku kerja. Semenjak punya anak aku dipaksa berhenti sama dia. Katanya nyalahi kodrat. Kodrat gundulnya itu kalo kewajiban saja dia tak paham," keluhnya lagi.
Karena masalah ekonomi juga, Donwori dan Karin kerap bertengkar. Donwori semakin hari juga kian jarang pulang ke Tanah Merah, tempat tinggal istri dan anaknya. Benar ia tetap rutin ngirim uanv, tapi ya seadanya begitu.
Hingga sebuah telepon dari seberang menghancurkan hatinya. Donwori yang berada di balik suara itu berkata lugas pada Karin mengajak untuk berpisah. Donwori tanpa rasa bersalah mengatakan sudah ada cem-ceman di perantauan.
"Udah punya istri dan istrinya mau lahiran. Aku suruh ngurus percerianan biar dia bisa ngurus akte anaknya," katanya datar.
Meski diterpa masalah yang sangat pelik begitu, tak nampak guratan sedih di wajah Karin. Seperti ia sudah pasrah pada keadaan. "Sampeyan ngerti iki perceraian dia apa ngasih dana, enggak. Kabeh aku dewe. Ya wes, wes cukup aku nangisi orang sing gak ngerti dan gak tanggung jawab. Mending pisah, cim statusku luweh jelas," pungkasya. (ilus: fajar)
Kegemasan Karin pada Donwori, 29, sudah di ubun-ubun.
Bagaimana tidak. Laki-laki yang sudah ia nikahi selama tiga tahun ini tak peka sama sekali pada persoalan domestik. Termasuk urusan perekonomian. Bukannya merasa bersalah tak bisa memberi nafkah yang cukup, Donwori justru selalu menuduh Karin perempuan yang boros.
"Boros iku ya...kalau sebulan dapat jatah Rp10 juta terus dibeliin swarovski atau guci. Lha ini seminggu cuma Rp 50 ribu, ya gak cukup lah. Opo gak ngerti yen saiki rego ayam sekilo Rp 40 ribu. Yo ngene kuwi yen asal njeplak," sambat Karin saat berada di ruang tunggu Pengadilan Agama (PA) Klas 1A Surabaya, belum lama ini.
Sembari menunggu sidang perceraian yang ia urus sendiri itu, Karin mulai bercerita pada Radar Surabaya. Pekerjaan sehari-hari Donwori adalah waiters di salah satu tempat makan di ibu kota. Idealnya, pekerjaan itu sudah mampu untuk mengkaver kebutuhan sehari-harinya bersama anak dan istri. Namun, nyatanya, uang yang dikirimkan Donwori untuk Karin ngepress pres. Nyaris tak cukup malah.
"Uang Rp 50 ribu itu mung dadi slilit, makan sehari tiga kali untuk dua mulut. Belum anak yang masih kecil suka jajan. Itu gimana aku nyukup-nyukupne," imbuhnya lagi dengan kesal.
Perempuan berambut panjang ini curhat jika ia sudah tak terhitung lagi menangisi nasibnya. Bagaimana pun uang pemberian Donwori ia putar, rupiah itu tetap tak cukup baginya. Bahkan, setelah mendapat jatah mingguan dari suaminya, ia selalu menangis alih-alih senang.
Karin semakin mengeluh tatkala suaminya ini marah-marah. Donwori tak pernah mau tau bagaimana Karin mengolah keuangan. Yang ia tahu, uang segitu akan cukup untuk makan seminggu. Padahal kebutuhan rumah tangga tak hanya makan. Ada sabun, shampo, listrik, pulsa, bayar smpah, iuran RT dan masih banyak rentetannya. Belum lagi kalau ada undangan kondangan. "Wes gak mikir kondangan, buat sehari hari ae seret," tandasnya.
Di awal-awal pernikahan sih Karin masih bisa bertahan gara-gara uang tabungan yang ia kumpulkan sejak perawan. Namun sudah dipakai bertahun-tahun tanpa income yang memadai ya habis juga akhirnya.
"Sebelum nikah aku kerja. Semenjak punya anak aku dipaksa berhenti sama dia. Katanya nyalahi kodrat. Kodrat gundulnya itu kalo kewajiban saja dia tak paham," keluhnya lagi.
Karena masalah ekonomi juga, Donwori dan Karin kerap bertengkar. Donwori semakin hari juga kian jarang pulang ke Tanah Merah, tempat tinggal istri dan anaknya. Benar ia tetap rutin ngirim uanv, tapi ya seadanya begitu.
Hingga sebuah telepon dari seberang menghancurkan hatinya. Donwori yang berada di balik suara itu berkata lugas pada Karin mengajak untuk berpisah. Donwori tanpa rasa bersalah mengatakan sudah ada cem-ceman di perantauan.
"Udah punya istri dan istrinya mau lahiran. Aku suruh ngurus percerianan biar dia bisa ngurus akte anaknya," katanya datar.
Meski diterpa masalah yang sangat pelik begitu, tak nampak guratan sedih di wajah Karin. Seperti ia sudah pasrah pada keadaan. "Sampeyan ngerti iki perceraian dia apa ngasih dana, enggak. Kabeh aku dewe. Ya wes, wes cukup aku nangisi orang sing gak ngerti dan gak tanggung jawab. Mending pisah, cim statusku luweh jelas," pungkasya. (ilus: fajar)