Tulisan di Bak Truk, Bentuk Ekspresi Sopir


Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (Unair), Kandi A.S Tomasoa mengungkapkan, fenomena yang ditampilkan baik melalui tulisan maupun gambar di bak truk bukanlah sebuah hal yang baru. “Fenomena ini merupakan bentuk modifikasi truk ala sopir Indonesia yang patut diapresiasi. Karena itu adalah salah satu cara yang berusaha diekspresikan oleh seorang sopir truk dari pengalaman hidup yang ia dapat sepanjang perjalanan,” ungkap Kandi.

Dikatakannya, tulisan maupun gambar yang dituangkan dalam bak truk merupakan implikasi dari visual culture (budaya visual) yang sedang tumbuh di kalangan masyarakat. Bak truk dianggap menjadi salah satu ambient media atau media luar ruang. Artinya, sebagai medium penyampai pesan, bak truk memiliki karakter yang dapat menonjolkan kekuatan atau makna dari pesan itu sendiri.
“Melalui keunikan itulah, pembaca sering kali memberikan respons layaknya tersenyum ‘geli’. Karena sejatinya, ketika pembaca mengonsumsi teks itu, mereka sedang mengimajinasikan apa yang berusaha direfleksikan oleh sang sopir truk,” imbuhnya.
Menjalani profesi sebagai sopir truk merupakan sebuah pekerjaan yang identik dengan aktivitas yang menutut seseorang untuk melakukan perjalanan yang jauh. Sebagai konsekuensinya, para sopir truk harus siap dengan berbagai kondisi seperti jenuh, jarang pulang ke rumah hingga jauh dari keluarga maupun lingkungan terdekat.
Atas kondisi itulah, tak heran jika dalam beberapa tulisan di bak truk kerap kali mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan permasalahan sehari-hari, seperti isu terkait agama, hubungan dengan orang tua hingga persoalan rumah tangga.
“Medium dan tulisan memiliki keterkaitan. Sehingga, ketika ada pembaca yang merespon dengan senyum ataupun ketawa, itu merupakan hasil dari adanya keterikatan antara pesan yang disampaikan dengan kondisi riil yang terjadi di masyarakat,” kata Kandi.
Di sisi lain, tulisan pada bak truk tidak bisa jika dianggap sebagai penyampai pesan atau makna. Lebih dari itu, Kandi mengatakan, tulisan maupun gambar yang diekspresikan pada bak truk merupakan bentuk karya seni dari kreatifitas sang sopir truk.
“Hal itu layak disebut sebagai sebuah seni karena ada wujud estetika yang bisa diresapi. Tidak sekadar diapresiasi pada level kognisi yang bisa dibaca dan dipahami. Tetapi, karya itu bisa menjadi sebuah bagian dari kekayaan emosi yang juga terkait dengan level afeksi,” ungkap dosen yang menempuh pendidikan di Media and Performance Studies di Utrecht University itu
Jika diklasifikasikan dalam jenis karya seni, menurut Kandi, karya tersebut merupakan low art. Berbeda dengan high art pada karya lukisan Monalisa, misalnya. Seni low art diartikan sebagai sebuah seni di mana karya tersebut sangat mungkin dilahirkan kembali oleh banyak orang yang tidak memiliki indikator atau keahilan tertentu.
“Dari pengaksesannya pun, karya seni pada bak truk dapat dikonsumsi secara massal. Di mana ruang aksesnya tidak terbatas pada sebuah ruangan dan kalangan tertentu. Melainkan, ruang aksesnya adalah jalanan. Tidak ada eksklusifitas dari karya itu, karena siapapun bisa menikmati,” katanya.
Jika menilik pada konteks jalanan, lanjut Kandi, maka nilai atau makna dalam karya seni tersebut dapat diasosiasikan sebagai sebuah nilai pergerakan atau perlawanan yang ingin disampaikan oleh sang sopir. Sebagai sarana transportasi yang memiliki mobilitas tinggi, truk melalui jalanan mengisyarakatkan layaknya ruang antara yang bersifat dinamis. “Jalanan itu nobody’s room (bukan miliki satu orang tertentu, Red). Jalanan merupakan wilayah publik yang dapat diakses oleh kalangan dan status sosial apapun. Sehingga ketika medium itu (bak truk) bergerak, maka karya seni itu dapat menjadi bagian dari dinamika dan representasi dari kondisi kota,” pungkas dosen muda itu.
Sementara itu, hal terpenting yang tidak bisa terlepas dari karya seni itu adalah konten yang disampaikan. Selain berusaha menyampaikan konten yang memiliki nilai spiritualitas, kekeluargaan hingga humor satir, bak truk juga kerap menyuguhkan gambar-gambar vulgar di mana mayoritas yang ditempatkan sebagai objek adalah perempuan.
“Ini merupakan hal penting, karena kita tinggal di negara yang memegang erat norma dan budaya ketimuran di mana pembahasan seksualitas di ruang publik dianggap tabu,” ujar Kandi.
Dalam konten tersebut, tambah Kandi, secara gamblang sang sopir berusaha mengangkat wacana maskulinitas yang menempatkan perempuan sebagai objek tontonan. Bahkan, melihat bak truk yang didominasi oleh gambar kaum hawa, tanpa sadar sang sopir pun berusaha membangun citra atau konsep perempuan ‘cantik’.
“Selama ini hal-hal yang berbau seksual seakan direpresi, tidak boleh diartikulasikan atau tidak boleh diekspresikan di ruang publik. Nah, sang sopir truk ini bertindak sebaliknya, mereka berusaha membongkar konstruksi seksualitas dan memenuhi nalurinya dengan gambar perempuan yang ‘sexy’,” katanya.
Di saat yang bersamaan, Kandi yang menjadi menarik dari fenomena ini adalah dari kalangan mana teks atau karya tersebut dihasilkan, di mana menurut Kandi, selama ini lahir dari masyarakat kalangan menengah ke bawah.
“Mereka justu menunjukkan kesiapan dan kedewasaan dalam membincangkan hal-hal semacam ini. Disisi lain, bagi masyarakat menengah keatas topik ini sering kali menjadi sesuatu yang ‘dipagari’,” pungas Kandi.
Terlepas dari hal tersebut, Kandi mengungkapkan, persoalan konten yang terkesan vulgar merupakan hal problematis karena pesan yang disampaikan bisa multi meaning (memiliki banyak makna, Red). “Kita tidak bisa mengontrolnya karena ini kembali lagi kepada bagaimana pembaca menginterpretasikan dan mengimajinasikan konten apa yang disampaikan dalam karya tersebut,” tuturnya.  (FOTO: GOOGLE)