Terlambat? Potong Gaji


Ibu di depan saya gelisah. Ia bolak-balik melihat jam tangan merek Alba di pergelangan tangan kirinya. Keningnya berkerut. Ada beberapa kerutan yang berhimpitan dengan jilbabnya yang berwarna orange cerah. Sesekali ia juga melihat ke luar jendela. “Aduh, hujan pula. Macet lak an,” keluhnya.
MARKITECTURECONSULTING

“Maaf ya, Mbak,” katanya sambil telapak tangannya menyentuh lutut kanan saya. Perempuan lain yang ada di samping saya hanya tersenyum melihat si ibu berjilbab orange cerah. Sepertinya ia memaklumi sikap perempuan seumuran di depannya itu.
Selang tak sampai sepuluh menit, lyn LMJ (jurusan Margomulyo-Jembatan Merah) yang kami tumpangi bertiga berhenti persis di sebuah gedung milik pemerintah di Jalan Indrapura, Surabaya. Tak seperti biasanya. Kali ini lyn berwarna abu-abu itu persis berhenti di pintu gerbang gedung yang memiliki halaman luas itu. Padahal, biasanya lyn LMJ belok kanan arah Krembangan.
Oh, betapa istimewanya si ibu. Sampai-sampai sopir bemo pun mendadak jadi supir taksi, karena mau menurunkan penumpangnya tepat hingga depan pintu kantor. Seolah tahu apa yang kupikirkan, si supir yang usianya sekitar 40 tahun itu berujar, ”Kasihan, Mbak. Ibuk tadi sudah terlambat ngantor. Soalnya tadi jalanan macet. Macetnya parah. Tidak seperti biasanya. Kalau tidak macet, paling lama jam 07.20 sudah sampai kantor, kok.” Cerita si supir yang memiliki perawakan tinggi-besar itu membunuh sebagian rasa penasaran saya.
Begitu tiba di kantornya, si ibu berbadan cukup gemuk itu pun lari. Keponthal-ponthal. Apalagi ia pakai hak setinggi 3 centimeter, sehingga larinya tak segesit kalau pakai sepatu kets. Saat itu jam di tangan saya sudah menunjukkan pukul 07.36. Sirine dari gedung milik pemerintah itu juga sudah mengaum-aum. Itu artinya si ibu benar-benar terlambat sudah. Harusnya, jam 07.30 sudah harus ada di kantor.
Satpam gedung yang berdiri di luar pintu masuk pun, ikutan menyemangati si ibu. “Ayo, Bu, lari,” katanya sambil seikit tersenyum.
Nyambung dengan cerita si supir, perempuan di sebelah kanan saya lalu bercerita. “Setiap terlambat, ada pemotongan. Entah gaji, uang makan, atau tunjangan, saya tidak tahu. Tapi, ibuk tadi cerita begitu (ada pemotongan karena terlambat ngantor).  Makanya sejak tadi ia gelisah,” kata si ibu. Tak tanggung-tanggung, katanya pemotongannya lumayan gede. Mendengar cerita itu, saya hanya bisa melongo. Segitunya ya???? (*)