Price Discrimination Makin Ngetren


Price discrimination (perbedaan harga) berdasarkan penyesuaian harga yang menilai atas value, sekarang menjadi semakin popuper. Mulai sekarang Anda boleh memikirkan, apakah bisnis Anda dapat memanfaatkan tren baru ini dalam membedakan harga untuk sebuah barang atau jasa yang sama, atau tidak. 
Mitra bisnis, ketika saya mengadakan perjalanan udara dari Surabaya ke Jakarta dengan naik Garuda Indonesia, ternyata harga tiketnya lain-lain. Kadang-kadang Rp 400 ribu lebih. Suatu saat bisa naik Rp 100 ribu menjadi Rp 500 ribu. Bahkan, saya juga pernah naik maskapai sama dengan rute yang sama pula, tapi harga tiketnya Rp 600 ribu lebih.
Pada saat yang sama, ada orang beli tiket untuk rute Surabaya-Jakarta, juga dengan Garuda Indonesia, tapi harga tiketnya di atas Rp 800 ribu. Semua tiket itu juga sama-sama kelas ekonomi. Bahkan kalau Anda mau duduk di tempat bisnis, harga tiketnya bisa Rp 1,6 juta untuk satu kali jalan. Mengapa kok bisa berbeda?
Tenyata memang sekarang ini lagi model menyatakan harga dengan tidak berdasarkan berapa biayanya atau berapa jasa yang diberikan. Karena biaya Anda naik dari Surabaya –Jakarta, semuanya sama, karena di dalam pesawat dan kelas yang sama.
Tetapi, bagaimana pelanggan itu melihat nilai dari sesuatu (value précising) yang dia dapatkan. Kita diajarkan menilai harga dari value précising-nya.
Buat orang yang mau menunggu tiga hari, seminggu atau dua minggu maupun sebulan lagi, dia akan mendapatkan harga tiket pesawat yang murah. Tapi, di sisi lain, ada orang yang butuh tiket sangat cepat. Hari ini pesan, hari ini juga berangkat. Saking butuhnya, berapa pun harga tiket yang ditawarkan, dia mau bayar meskipun tiga atau empat kali lipat dari harga normal. Padahal harga mahal itu tidak memberikan fasilitas lebih. Fasilitas tetap sama, duduk di kelas ekonomi.
Konsep tentang price discrimination atau perbedaan harga untuk sebuah jasa yang sama, semakin lama makin diakui dan digunakan oleh orang-orang. Pesawat American Airlines dari San Francisco terbang menuju New York, katanya tiket ekonominya paling murah adalah gratis. Untuk orang yang biasanya sering naik pesawat, maka dia dapat penerbangan gratis. Untuk yang bayar, tiketnya seharga USD 150 atau USD 200. Yang termahal untuk harga tiketnya adalah USD 2.000. Itupun duduk di kelas ekonomi. Itu untuk orang yang datang 40 menit sebelum pesawat take off. Ternyata tiket semahal itu tetap saja ada yang beli. Yang berminat adalah mereka-mereka yang bilang, “Saya tidak peduli berapa pun harganya. Yang penting saya bisa terbang sekarang juga.” Ironis memang, karena si orang itu duduk bersebelahan dengan penumpang-penumpang lain yang harga tiketnya USD 150 atau USD 200.
Inilah yang terjadi sekarang ini. Dan di dalam kehidupan kita, semakin lama orang makin sadar bahwa harga bukan lagi dari berapa biaya yang timbul. Melainkan dilihat dari berapa besar kenikmatan atau kebutuhan akan tempat itu.
Ada dua hal yang dapat kita pelajari dari keadaan ini. Pertama, setiap orang mempunyai kerelaan membayar yang berbeda. Karena pandangan atau kebutuhannya berbeda dengan orang lain. Kedua, harga bisa berbeda sangat jauh sekali antara harga yang paling rendah dan mahal. Sekarang kalau Anda tahu, bukan semua orang kaya saja yang bisa naik pesawat. Tapi, orang miskin pun bisa naik pesawat terbang, karena tiket pesawat sekarang sudah menjadi sangat murah. (*/10)